The Transit City of Pare-Pare

Alun-alun kota Pare-Pare

Pare-Pare adalah sebuah kota di Sulawesi Selatan, berjarak kurang lebih 155 km dari Makassar. Dikenal sebagai kota pelabuhan, kota transit, kota cakar alias pakaian bekas cap karung. Belakangan semakin populer karena banyaknya unggahan foto dan video di sosial media terutama instagram tentang kolam renang fenomenal yang menjanjikan keindahan pemandangan laut dan bukit bagi pengunjungnya. Kolam renang ini bisa dijumpai di Hotel Bukit Kenari Jalan Sudirman, hotel yang ternyata milik tante sahabat karibku, Miftah.

Salah satu sudut pelabuhan Pare-Pare. Yang beratap merah itu adalah gazebo untuk beristirahat sambil menikmati pantai dan jajanan kaki lima

Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang kota kelahiran BJ Habibie ini. Meskipun sudah berkali-kali ke sini namun hanya sekedar mampir saja. Tidak pernah sampai menginap. Beberapa moment terbaik yang bisa saya ingat selama di kota ini adalah peristiwa tersesat. Lho… tersesat kok jadi salah satu moment terbaik sih? Hahaha. Sabar… sabar. Pasti akan saya ceritakan alasannya. Jadi kisahnya begini, saya dan seorang teman cewek sedang mumet-mumetnya dengan urusan kerjaan di kantor (saat itu saya belum menikah dan masih jadi karyawan di salah satu kantor BUMN). Saat mumet seperti itu muncullah ide gila kami bepergian jauh ke ujung Sulawesi Selatan, Kota Sorowako dengan menyetir sendiri. Karena takut ditanya macam-macam sama ortu saat minta izin pakai mobil, kamipun berinisiatif untuk rental mobil saja. Dan jadilah petang itu kami meninggalkan Makassar setelah deal dengan pemilik mobil di rental langganan. Saya berhasil menjebak adik saya untuk terlibat dalam misi perjalanan buta ini dengan alasan biar lebih aman kalau ada cowok. Siipp… bertiga, kamipun mulai melaju membelah jalan tol Reformasi hingga tiba di Pare-pare melalui poros Maros, Pangkep dan Barru.

Kami tiba di Pare-pare hampir tengah malam. Jalan-jalan utama di kota beraspal mulus dengan kontur berbukit. Terlihat serupa. Sepi dan lengang. Tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Beberapa rumah di sekitarnya hanya menyisakan lampu teras saja yang menyala. Kami sempat bingung mengambil rute yang mana. Hingga akhirnya dicobalah setiap persimpangan itu dan ternyata malah kembali ke tempat semula. Tak terasa sudah empat kali kami melalui jalan ini. Frustasipun mulai menggoda. Apalagi tak ada siapa-siapa yang bisa ditanyai. Mengandalkan Google Map juga tak mungkin jika semua gadget habis batrei. Menunggu bus malam yang lewat menuju Toraja atau Sorowako itu sendiri adalah pilihan terakhir. Tapi kok rasa-rasanya tidak ada satupun yang melintas. Apa kami sudah sejauh ini tersesat ke pedalaman Pare-Pare? Temanku yang sejak tadi menyetir dari Makassar mulai kelelahan. Sayapun berinisiatif menggantikannya meskipun sedikit ragu karena kemampuan menyetirku masih payah. Jarak terjauh yang pernah kutempuh hanya seluas lapangan bola di dekat rumah. Itupun jalan datar saja. Adikku apalagi! Tidak bisa diandalkan. Membedakan gas dan rem saja dia tidak tau. Hahahaha.

Dengan keberanian yang dikuat-kuatkan, sayapun mengambil alih kemudi. Mulai menggerakkan roda empat itu dengan hati-hati mencari arah menuju jalan protokol. Setidaknya jika tiba di Jalan Sudirman, mungkin ada satu dua kendaraan yang melintas. Dan alhamdulillah dalam pencarian itu, kami menjumpai sebuah mobil pick up yang melaju kencang. Saya mengikutinya meski tak mampu mengimbangi kecepatannya. Jelas kami tertinggal jauh di belakang dan jalananpun kembali lengang. Syukurnya arah jalannya lurus-lurus saja, tak ada persimpangan. Setelah sekian jam menyetir, saya melihat spbu di pinggir jalan yang sudah beroperasi dini hari begini. Niatnya sih mau isi bensin sekalian numpang parkir tidur. Di sela-sela pengisian bensin itu, bertanyalah saya kepada petugas arah menuju Sorowako. And you know what??? Kami salah jalan! Rute ini menuju Mamasa yang artinya bertolak belakang dengan tujuan kami sehingga harus menyetir kembali ke Pare-pare dan mengambil arah sebaliknya. Gembleeeeengg! *pukul-pukul kepala ke tembok*

Moment tersesat ini sangat berarti bagiku karena akhirnya mampu mendobrak diri keluar dari ketakutan. Menemukan kekuatan lain yang kita miliki yang mungkin lebih dari yang pernah kita bayangkan. Jika tidak ada  kejadian tersesat ini, mungkin selamanya saya tidak akan pernah mampu menyetir mobil dengan baik.

Kejadian lain yang masih melekat di ingatanku tentang Pare-Pare adalah Pasar Senggol, pusat penjualan pakaian bekas. Pasar ini ada di tengah kota dan selalu ramai pengunjung dari berbagai kalangan terutama di malam hari. Saat itu saya masih fresh graduate dan bekerja di sebuah yayasan kesehatan untuk penugasan di wilayah Toraja. Pekerjaan selama tiga bulan di sana selesai dan sayapun harus kembali lagi ke Makassar untuk pelaporan sekaligus evaluasi program. Sebelumnya saya mampir dulu ke Pare-Pare. Bersama seorang teman tugas, kamipun mengunjungi Pasar Senggol karena penasaran seperti apa keramaiannya. Tiba di sana, kami kalap belanja karena harganya murah-murah dan modelnya stylish. Saya sampai memboyong tujuh winter coat ala korea, meskipun tidak tau akan dipakai kemana karena jelas di Indonesia tidak cocok. Saya hanya jatuh cinta dengan modelnya yang unyu-unyu. Teman saya malah nggak tanggung-tanggung. Belanjaannya dua kantong plastik hitam besar!

Hal lain yang langsung mencuat di ingatan begitu mendengar kata Pare-Pare adalah kota singgah. Kami sering mampir di sini setiap pulang kampung ke rumah mertua di Enrekang. Biasanya kami akan ke pelabuhan, duduk santai di gazebo menikmati jajanan kaki lima, sholat di masjid raya, main di alun-alun kota, istirahat di taman, berpose di monumen cinta sejati Ainun-Habibie, hingga menyusuri jejak kenangan suami semasa tinggal di Pare-Pare dengan penuh kedisiplinan bersama paman yang seorang tentara.

Monumen cinta sejati Ainun-Habibie. Semoga cinta kitapun sejati seperti mereka. Amiin
Siang bolong seperti ini saja cakep. Saat matahari terbit ataupun terbenam, saya yakin pemandangannya berkali-kali lipat indahnya.
“Papa… take me travel far”, Ochy said.

Leave a comment