Ada satu masa dalam hidup ini yang selalu kurindu. Tentang kesahajaan tinggal di desa. Suasana yang damai, adalah satu dari sekian banyak hal daya tarik pedesaan. Saya masih ingat, dulu ketika masih kecil sering berkunjung ke rumah nenek di desa. Terutama ketika libur sekolah. Bangun pagi dengan suguhan landscape persawahan dengan pagar dari bukit karst yang berderet-deret. Indah sekali. Dan akan semakin mengagumkan tatkala mentari pagi menyinarinya. Hangat tak hanya pada pandangan, tapi menyentuh hingga ke sanubari.
Selain pemandangannya yang asri, lingkungan pedesaan juga banyak mengajarkan tentang nilai-nilai kehidupan secara real. Saya rasa tidak berlebihan jika menyebut desa sebagai sekolah kehidupan. Betapa tidak, sejak subuh kami sudah dibangunkan nenek untuk bergegas ke surau (musholla desa). Berwudhu dengan air yang mengalir dari sungai yang dingin, lalu menapaki jalan tanah yang hanya bercahayakan sinar bulan diantara batang-batang bambu yang rimbun di kiri kanan jalan menuju suara adzan. Di perjalanan, terkadang kami, bocah-bocah ingusan, berlomba lari siapa yang paling pertama tiba di musholla.
Sepulang dari musholla selanjutnya membantu nenek di dapur. Saya suka bagian menyalakan api di tungku yang terbuat dari tanah liat. Ranting-ranting disusun, lalu sebatang korek api yang menyala dilemparkan ke dalamnya. Agar nyalanya tetap terjaga, sesekali harus ditiup menggunakan timburung, sejenis pipa peniup api hanya saja terbuat dari bambu. Anak laki-laki tak kalah seru. Mereka memberi makan sapi dan kuda yang berada di bawah rumah panggung. Kadang juga diajak paman untuk memandikannya di sungai. Setelah itu barulah kami bersantap ria di tengah sawah, pada sebuah saung yang tak jauh dari rumah nenek. Pada setiap kunjungan kami, paman tak pernah absen menyajikan bebek bakar. Bebek yang langsung ditangkap sendiri dari kandangnya. Juga ikan bandeng yang baru diambil dari empang. Disandingkan dengan nasi kepul yang juga dipanen dari sawahnya sendiri, dilengkapi sayur bening yang baru dipetik dari ladang. MasyaAllah, nikmat sekali memang kehidupan di desa. Sumber makanan dan pengolahannya masih alami. Tidak seperti kita di kota yang sering dijejali junkfood dan aneka makanan instant.
Bukit karst di belakang rumah nenek selanjutnya menjadi sasaran kami. Bersama paman, sepupu dan anak-anak sebaya di kampung, kami akan trekking hingga ke puncak. Dari atas, terlihat bedeng-bedeng sawah yang cantik. Hijau sejauh pandangan mata. Sawah-sawah itu biasanya menjadi media belajar kami. Ketika kunjunganku bertepatan dengan musim tanam, saya biasa diajak paman ikut menanam benih. Jika bertepatan dengan musim panen, sayapun diajak ikut memetik padi yang telah menguning. Bermodalkan caping, ani-ani dan keranjang rotan. Tapi dasar anak-anak, bukannya serius memetik padi, kami malah asyik bermain di tumpukan batang-batang padi. Tidak mengenal kata gatal yang ternyata akan kami dapatkan setelahnya.
Oleh pamanku yang sangat kreatif, beberapa batang padi tersebut disulapnya jadi mainan. Seingatku, bagian tengah batang padi tersebut di iris-iris lalu ditekuk hingga menjadi alat tiup yang menghasilkan bunyi khas. Mainan ini menjadi oleh-oleh terindah yang kubawa pulang ke Makassar.

Lain lagi dengan cerita di rumah nenek dari pihak mamak. Beliau tinggal di pinggiran Kota Makassar. Meski tidak belajar tentang sawah di sini, tapi saya belajar banyak tentang berkebun. Nenek mempunyai lahan perkebunan yang luas. Beberapa lahan berisi pohon jati, kacang-kacangan, cabai, singkong dan jagung. Saya sering ikut nenek ke kebun. Yang paling berkesan adalah noda merah yang saya dapatkan dari daun jati yang kusobek, juga tentang menanam singkong. Batang-batang pilihan yang telah dipotong dengan ukuran tertentu, ditancapkan di atas tanah yang sebelumnya telah digemburkan dengan cangkul. Saat musim panen tiba, saya pernah ikut mencabut singkong dewasa. Satu batang akan dicabut beramai-ramai dengan sepupuku yang lain. Tak jarang, saat mencabut singkong tersebut, kami terhempas ke belakang bersamaan dengan akar singkong yang menjadi buah. Singkong tersebut lalu kami bakar di kebun dan menyantapnya beramai-ramai dengan cabai yang baru dipetik. Sedangkan batang singkongnya kami jadikan lullung, sejenis rumah-rumahan dengan sarung sebagai penutup sisi-sisinya. Nah di lullung inilah saya, sepupu-sepupu dan anak tetangga lainnya bersesakan menikmati hasil singkong bakar kami sendiri.
Keramahan penduduk desa adalah hal lain yang tak bisa saya lupakan. Ini tidak saja saya dapatkan di rumah nenek. Tapi hampir di semua desa yang pernah saya kunjungi (tinggal selama beberapa waktu). Entah saat kegiatan berkemah dari sekolah, ketika PBL waktu kuliah dan juga saat KKN pastinya serta saat bekerja di daerah pedalaman. Orang-orang desa senantiasa menyambut kami dengan penuh suka cita.
Sayangnya, sejak nenek meninggal kami sudah tidak pernah lagi berkunjung ke sana. Apalagi semua keluarga dekat juga sudah pindah ke kota. Sedangkan nenek dari pihak mamak, sejak beliau juga meninggal, area dikawasan tersebut telah berkembang pesat. Tak ada lagi lahan-lahan yang kosong. Kebun yang dulunya begitu luas, kini telah menjadi deretan ruko.

Setelah belasan tahun tidak pernah lagi merasakan kehidupan pedesaan, alhamdulillah Allah mengirimkan pasangan hidup yang bisa mewujudkannya. Saya bersyukur mendapat suami yang berasal dari Enrekang. Sehingga setidaknya masih bisa merasakan kehidupan di desa saat kami mudik lebaran.
Pedesaan, meski tidak menawarkan kehidupan yang lengkap dan super wah seperti di kota tapi justru dengan segala kekurangannya membuat rindu selalu ingin berkunjung.
***
Tulisan ini adalah kolaborasi saya bersama Asri Lestari yang selanjutnya dapat dengan mudah diakses di hashtag #emakpejalan
Mbak Asri adalah sosok emak yang luar biasa dan energik. Pejalan tangguh! Saya bahkan tidak mengenal kata menyerah darinya. Pertama kali mengenalnya saya begitu kagum. Apalagi tulisan-tulisannya sangat inspiratif.
Tema kolaborasi kami pekan ini adalah Desa. Nantikan cerita kami selanjutnya di #emakpejalan ya 🙂
Kalau persawahan gini ingat desa kakek di Lamongan. Dulu hampir setiap lebaran kami kesana. Bener-bener yang masih desa banget juga. Jalan masuknya masih berbatu-batu. sepanjang jalan sebelum sampai perkampungan melewati hamparan sawah-sawah. Antar kampung satu dengan yang lain terpisah jauh sekali. Masak pakai tungku. Kamar mandi seadanya bahkan airnya kalau kami datang diambilkan dari danau. Karena kalau pakai air yg biasa mereka pakai diriku suka gatal-gatal. Seru ya di desa. Tapi aku belum pernah ikut ke sawah. Karena sawahnya jauh dari rumah. Jadi kalau kesana main2 aja sama sepupu2. Paling seru main kalau terang bulan. Jalanan terang banget. Soalnya disana penerangan masih minim. Sekarang sih sudah jauh lebih baik. Ah jadi ikutan nostalgia hehehhe
LikeLike
Aku terakhir kali kayaknya pas SD kelas 5 gitu ngerasain suasana desa banget. Jalan masuknya juga berupa batu pengerasan dan untuk sampai ke rumah nenek, kita harus naik delman dulu.
Pas SMP pernah jalan2 ke sana, delman udah gak ada lagi. Diganti bentor (becak motor) dan jalannyapun sdh aspal.
Kehidupan di desa memang ngangenin ya mbak 🤗
LikeLike