Kalau San Fransisco mempunyai golden gate, Batam mempunyai jembatan Barelang yang tidak kalah menawan. Terbentang kokoh sepanjang 54 km dengan latar belakang pemandangan laut dipadu pulau-pulau kecil yang sungguh indah.
Jembatan Barelang menghubungkan Kota Batam dan pulau-pulau di sekitarnya. Nama Barelang sendiri merupakan akronim dari tiga pulau besar yang dihubungkan oleh jembatan tersebut yaitu Batam, Rempang dan Galang. Sebenarnya ada 6 jembatan yang berada di atas jalur trans Barelang ini. Masing-masing jembatan mempunyai nama yang unik yang diambil dari nama raja-raja Melayu yang pernah berkuasa di Riau pada abad 15-18 M. Jembatan 1 disebut juga jembatan Fisabilillah. Jembatan ini adalah yang paling megah dan dinobatkan sebagai landmark Kota Batam. Jembatan 2 disebut jembatan Nara Singa, disusul jembatan Raja Ali Haji (jembatan 3), jembatan Sultan Zainal Abidin (jembatan 4), jembatan Tuanku Tambusai (jembatan 5), dan terakhir jembatan Raja Kecik (jembatan 6).
Meskipun setiap jembatan memiliki namanya sendiri, namun jembatan Barelang justru lebih familiar dengan sebutan jembatan Habibie di masyarakat lokal. Itu karena jembatan tersebut diprakarsai oleh (Alm) Habibie dengan melibatkan ratusan insinyur terbaik Indonesia dan teknologi yang canggih dalam masa pembangunannya yang berlangsung dari tahun 1992 hingga 1998. Bahkan menurut Wikipedia, jembatan Barelang ini menyedot anggaran sebesar Rp 400 milyar untuk menyelesaikannya. Wow banget kan! Sangat sepadan dengan hasilnya.
Alhamdulillah libur Natal kemarin, kami berkesempatan menyusuri jembatan Barelang hingga ke Pulau Galang. Melintasi kabel-kabel baja yang disusun sedemikian apik di sisi-sisi jembatan membawa lamunanku terbang jauh ke California. Saya dan suami merasa seperti sedang berkendara di atas golden gate San Fransisco. Tertawalah yang menganggap kami lebay dan pemimpi di siang bolong. But let me tell you our secret, semua perjalanan kami yang sudah-sudah, semuanya diawali dari bermimpi seperti ini.
Kami berhenti di jembatan 1. Jembatan paling megah dari semua jembatan Barelang. Di sana ada alun-alun Dendang Melayu yang telah dilengkapi panggung, musholla, toilet dan berbagai pilihan food street yang wajib dicoba. Ada juga penyewaan becak mini dan beberapa penjual mainan serta tukang foto yang menyediakan jasa foto langsung cetak 10 R dengan biaya Rp 20.000/lembar. Suasana melayu sangat kental di alun-alun ini. Orang-orang berbicara melayu, warga Batam maupun pendatang dari seberang. Lagu-lagu yang didendangkan pun semua lagu melayu.
Sambil menunggu waktu dzuhur, kami mengabadikan beberapa gambar. Ochy dan Yui juga puas lari dan kejar-kejaran di alun-alun. Ketika saya ajak untuk lunch mereka berkonspirasi rewel bareng sebab gagal merayu Munda untuk dibelikan mainan gelembung sabun. Hahahaha. Tapi dasar anak-anak, disogok dengan teh obeng (sebutan untuk es teh di Batam) mereka sudah tenang lagi.
Saya memesan beberapa menu untuk makan siang kami. Semuanya ludes seketika. Entah karena kami yang kelaparan atau karena sejuknya angin yang menambah selera atau karena dendang lagu-lagu melayu yang mengiringi santap siang kami. Saya sebenarnya cukup ragu dengan pilihan suami yang hanya memesan batagor sementata saya dan anak-anak full karbo dengan mie goreng, telur, nasi dan ayam penyet. Padahal nih ya diantara kami beliau inilah yang ricelover. Prinsip perut pak suami : makan sebanyak apapun, kalau belum mengunyah nasi, belum makan namanya.
Selain di alun-alun, kita juga bisa berhenti di pinggir jalan jika ingin berfoto dengan jembatan ikonik tersebut. Pastikan saja tidak ada kendaraan yang melintas ketika menyebrang ke tengah jalan ya. Benar-benar harus hati-hati sebab kendaraan yang lalu lalang laju-laju.
The Story of Nomadic Family 