UK Trip 2018 : Day 5 – Terkena Malaria dan Rawat Inap di RS Liverpool

Setiap orang pasti menginginkan liburan yang menyenangkan. Berusaha sedemikian rupa (nabung, hidup hemat, investasi) demi mewujudkan pengalaman seru di negeri-negeri impian. Lalu bagaimana jika ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan? Sakit saat traveling misalnya.

Jujur saja, dari sekian perjalanan yang kami lakukan bersama, trip ke Inggris ini adalah yang paling menghabiskan biaya. Apa-apa mahal. Mulai dari pengurusan visa sampai tiba di Ratu Elizabeth, musim panas pula di mana akomodasi dan transportasi memang naik berkali lipat dibandingkan musim lainnya. Sudah menguras tabungan sedemikian bayak — yang bisa banget dipakai buat beli cash mobil — tapi malah sakit pas sampai di sana rasanya uhh… nano-nano!

The Royal Liverpool Hospital

Tapi kalau sudah takdir Allah ya mau bagaimana lagi. Dijalani, disabari, disyukuri. Kami percaya pasti ada pelajaran berharga di baliknya.

Kok bisa sih terkena malaria di Liverpool?

Jadi begini, kami kan memang tinggal di Timika, Papua. Nah Papua ini adalah daerah endemik malaria. Kalau digigit nyamuk Anopheles betina, sukseslah anda diserang penyakit malaria. Bukan karena nyamuknya sih tapi karena parasit plasmodium yang dbawa si Anopheles itulah penyebabnya.

Kasus malaria yang paling banyak ditemukan di Indonesia khususnya di Papua disebabkan oleh plasmodium falciparum dan plasmodium vivax. Bahasa familiarnya sih malaria tropika dan malaria tertiana. Diantara keduanya, plasmodium falciparum inilah yang paling berbahaya karena sekali kemunculannya bisa mengakibatkan kematian jika terlambat ditangani. Sedangkan vivax, meskipun tidak mengancam kematian tapi penderitanya cukup dibuat kapok karena ia bisa muncul kapan saja pada saat kondisi tubuh sedang down.

Sejak hari pertama kami di Inggris, Kak Idu memang sudah tidak fit. Lemas dan demam. Saya pikir itu hanya demam biasa yang kerap muncul karena kecapaian dan bisa segera pulih hanya dengan beristirahat. Karena itu selama kami di London, kami lebih banyak tidur di apartemen saja.

Tapi hingga hari kelima kami di Inggris, bahkan sekarang sudah pindah ke Liverpool, demam Kak Idu tidak juga sembuh. Padahal sudah menghabiskan beberapa butir sanmol yang dikenal ampuh menurunkan demam tinggi. Bukannya membaik, kondisinya malah makin parah : bicaranya ngaur, mengigau tidak jelas sampai-sampai mau melompat ke bawah dari jendela kamar. Dini hari pukul 2.30 dia menggigil hebat karena tidak tahan dengan rasa dingin yang dideritanya. Saat memelukku, tubuhku sampai diguncang sekuat-kuatnya padahal ia sudah memakai inner extra warm dan jaket ultra HD dibungkus bedcover isi bulu angsa. Tidak lupa heater di apartemen juga sudah disetting ke panas maksimal. Saya saja merasa gerah, Kak Idu malah menggigil luar biasa. Ada yang salah ini. Tapi saya sama sekali tidak kepikiran kalau itu gejala malaria.

Setelah minum teh hangat, alhamdulillah Kak Idu merasa lebih baik. Tidak menunggu lama, saya langsung memintanya ke rumah sakit setelah sholat subuh (sekitar pukul 4 pagi). Syukurnya rumah sakitnya dekat dari sini. Kurang lebih 7 menit saja jalan kaki.

Selama ditinggal Kak Idu ke RS saya gelisah luar biasa. Bagaimana kalau terjadi apa-apa dengannya di jalan? Mau menemaninya ke RS tapi bagaimana dengan anak-anak yang sedang terlelap? Siapa yang akan menjaga mereka di apartemen? Mau dibawa serta, di luar dingin banget subuh-subuh begini. Ahh… saya benci situasi ini. Kondisi tidak berdaya.

Rawat Inap di The Royal Liverpool Hospital

Hingga pukul sebelas pagi, saya belum juga mendapat kabar dari Kak Idu. Beberapa wa ku cuma centang satu. Semakin gelisahlah saya. Sejak diguncang Kak Idu yang menggigil hebat subuh tadi saya belum bisa tidur hingga sekarang. Hanya pemandangan ironi dari kaca jendela lantai tiga melihat punggungnya menjauhi apartemen di pagi buta yang terus berputar di kepala. Saya memutuskan menyusulnya ke RS bersama anak-anak. Meskipun sampai di sana saya tidak tau di mana akan menemuinya, setidaknya dengan bergerak saya merasa lebih berusaha daripada sekedar larut dalam do’a.

Resepsionis Rumah Sakit. Difoto keesokan harinya
Ruang tunggu The Royal Liverpool Hospital

Ketika baru saja saya menutup pintu dari luar, saya mendapat balasan wa Kak Idu. Dia memberi tahu bahwa dirinya masih menjalani serangkaian pemeriksaan darah. Ia juga buru-buru menambahkan perintah tidak perlu mengunjunginya karena insyaAllah beberapa jam ke depan, ia sudah bisa pulang. Alhamdulillah sedikit lebih lega. Syukur wa nya masuk pas saya masih di depan pintu. Kalau sudah turun ke bawah dipastikan koneksi internet saya akan putus karena cuma modal wifi apartemen.

Sampai sore hari Kak Idu ternyata belum pulang juga. Ini yang dia maksud beberapa jam kedepan tadi berapa lama ya? Saya kembali gelisah. Makan gak enak. Tidur gak bisa. Resah. Tiket kereta kami ke Edensor yang jadwalnya berangkat hari ini saya pandangi nanar. Buku ke tiga tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata itu juga tergeletak lesu di kaki jendela. Padahal jauh-jauh hari saya sudah membayangkan akan berpos dibawah st. Peter dengan latar pedesaan kuno seperti cover buku tersebut. Apa mau dikata, Tuhan belum menakdirkan kami mengunjungi Edensor.

Tiket kereta ke Sheffield – Edensor

Lelah menunggu, kali ini saya membulatkan tekad. Saya akan ke RS bersama anak-anak daripada mati disiksa gelisah di sini. Tapi baru mau berangkat, seseorang mengetuk pintu. Alhamdulillah Kak Idu beneran pulang dengan kondisi yang kelihatannya benar-benar baik.

Diceritakannya semua pengalamannya di RS. Mulai dari tidak ada sinyal sampai biaya pengobatan yang ternyata gratis alias gak bayar sepersenpun. Padahal ia diperiksa oleh beberapa dokter berbeda, diinfus, diberi obat, dikasih makan dan toiletries pula.

Setelah magrib, Kak Idu kembali menggigil. Badannya juga panas lagi. Pilihannya cuma satu, kembali lagi ke RS. Kali ini rupanya harus dirawat inap karena hasil lab menunjukkan Kak Idu terserang malaria dengan plasmodium vivax. Kak Idu sangat cemas jika harus meninggalkan kami di apartemen. Tapi saya juga tidak bisa menemaninya di RS karena anak-anak dilarang masuk ke ruang perawatan. Kami sempat memutuskan menghubungi KBRI meminta pertolongan. Apakah dikirimi seseorang untuk menemani anak-anak di apartemen atau justru kami semua yang diangkut ke wisma Indonesia. Namun keputusan itu batal karena pihak RS meyakinkan kami semuanya akan baik-baik saja. Don’t worry, you are in the right hands. Kata seorang perawat saat Kak Idu mengemukakan niat menghubungi KBRI.

2 comments

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s