Umroh Saat Hamil 7 Bulan dan Membawa Anak 2 Tahun ( Part 2 : Madinah)

Di depan Masjid Nabawi

Pertama kali menginjakkan kaki di Kota Madinah, hati bergetar untuk alasan yang tidak jelas. Saya sungguh tidak mengerti mengapa demikian tapi merasakan getarannya begitu kuat hingga air mata meluncur begitu saja. Saat menceritakannya kepada suami di kamar hotel, ternyata diapun mengalami hal serupa. Mungkin kisah Rasulullah yang diceritakan oleh tour guide selama di perjalanan tadi yang membuat kami begitu terharu. Membayangkan kehidupan Rasulullah SAW di masa lalu yang yatim piatu sejak kecil, berdakwah dengan tantangan taruhan nyawa demi kami ummatnya agar tidak terjerat dalam kejahiliyahan. Atau mungkin juga karena kecintaan kami kepada kota ini, tempat yang kami harapkan bisa datangi sejak baligh. Entahlah… saya cuma bisa mengungkapkan betapa getaran di hati meluluhkan segenap ego diri, menghadirkan kecintaan mendalam kepada sosok Rasulullah SAW.

Suasana Kota Madinah. Banyak gunung batu yang mengelilingi

Rasa syukur tak henti-hentinya kami panjatkan. Begitu banyak kemudahan yang diberikan Allah SWT sejak meninggalkan tanah air hingga akhirnya tiba di tanah haram Madinah. Hal yang paling saya khawatirkan adalah Ochy. Bagaimana jika dia rewel selama di perjalanan? Nah… kalau dia pup di pesawat? Atau di bus? Soalnya dia hanya berhenti ngunyah saat tidur saja. Dan jika menyesuaikan kebiasaannya, dalam sehari dia bisa buang air besar dua kali. Duuhh… gak kebayang repotnya. Tapi alhamdulillah Ochy sangat mengerti. Selama di pesawat maupun di bus anteng-anteng saja. Ia bahkan menunaikan ‘setor hajatnya’ justru setelah kami tiba di kamar hotel. Kemudahan-kemudahan itu semua tentu tidak lepas dari kemurahan hati Allah dan berkat do’a dari orang-orang yang mencintai kami.

Hotel kami di Madinah : Alwarisy Safar. Sangat dekat dengan pintu masjid Nabawi No.15

Keberadaan kami di Madinah tidak disia-siakan. Jarak Masjid Nabawi yang cuma sepelemparan batu dari hotel memudahkan kami untuk melaksanakan sholat di sana. Subuh itu juga untuk kali pertama kami menunaikan dua rakaat sholat fardhu di masjid yang menjanjikan seribu kali lipat pahala. I’tiqaf di masjid hingga sholat dhuha lalu kembali ke hotel untuk sarapan.

Masjid Nabawi saat payung-payung raksasanya menguncup di subuh hari.

Suasana di restoran hotel sudah padat jamaah. Meja makan yang tersedia sudah terisi penuh. Riuh suara piring, sendok dan manusia beradu. Kamipun memutuskan untuk makan di kamar saja. Lalu istirahat karena hari ini agenda bebas yang dijadwalkan oleh pihak travel. Jujur saja saya masih jetleg. Perjalanan udara 11 jam dari Makassar ke Jeddah dilanjut perjalanan darat 6 jam dari Jeddah ke Madinah membuat saya masih oleng, sempoyongan. Jika berdiri, lantai yang saya pijak serasa bergerak. Karena itu mengisi agenda hari ini dengan istirahat maksimal adalah pilihan tetbaik.

Perbedaan waktu yang cukup jauh antara Makassar dan Madinah ternyata sangat berefek bagi kami. Tidur kami bablas hingga menjelang sore yang berarti di Makassar telah masuk waktu malam. Waktu di Makassar lima jam lebih cepat daripada Madinah. Sayang sekali, kami ketinggalan sholat berjamaah dzuhur. Parahnya lagi, waktu sholat akan segera berakhir karena sebentar lagi adzan ashar berkumandang. Rasanya sedih sekali. Jauh-jauh ke sini untuk niat ibadah eh malah keenakan tidur! Nyesal itu emang bikin nyesek ya.

Tak ingin terulang lagi, sebelum magrib kami sudah ke masjid. Stroller yang kami bawa sangat membantu untuk ‘mengunci’ Ochy di tempatnya ketika kami sedang sholat. Ochy tipikal anak yang super aktif soalnya. Jika dibiarkan dia bisa lari kemana-mana. Sementara jumlah jamaah di masjid Nabawi tidak terkira banyaknya. Nah untuk meminimalisir risiko kehilangan anak, Ochy sholat bersama saya di pelataran masjid karena stroller tidak bisa dibawa masuk ke dalam masjid.

Kepadatan jamaah di pelataran Masjid Nabawi shaf perempuan

Hari-hari berikutnya kami naikkan level keberanian kami untuk Ochy. Ke masjid Nabawi tanpa stroller lagi, ikut sholat bersama suami di shaf laki-laki. Sebagai gantinya, kami bekali Ochy dengan permen chacha yang jika di gerakkan akan berbunyi dengan harapan bisa menghibur Ochy sehingga ia tenang-tenang saja di tempatnya. Karena sudah tidak membawa stroller, sayapun bisa masuk ke dalam masjid. Saya begitu terpana dengan desain interior masjid Nabawi yang indah. Terutama pada kubahnya yang bisa membuka dan menutup. Di dalam masjid Nabawi inipula tersebar deretan tabung-tabung berisi air zam-zam, dingin ataupun biasa yang bisa kita ambil sepuasnya.

Pilar-pilar khas Masjid Nabawi
Ruang terbuka di atas adalah kubah yang bisa membuka dan menutup. Pada gambar ini kubahnya sedang membuka sehingga cahaya matahari dan sejuknya angin memenuhi masjid
Salah satu tempat pengambilan air zam-zam di dalam masjid.

Berdasarkan cerita suami, dia jadinya sholat kurang khusyuk karena selalu was-was saat Ochy meninggalkan shaf. Di rakaat pertama bahkan ia batalkan karena mengejar Ochy yang sudah sekian meter darinya. Syukurnya rakaat-rakaat berikutnya berlangsung aman hingga salam terakhir.

Pada kesempatan lainnya, Ochy tiba-tiba hanya ingin ikut sholat dengan saya saja. Saya agak risau sih mengingat kondisi saya yang sedang hamil besar. Takutnya tidak bisa mengimbangi gerakan Ochy yang begitu lincah lari kesana kemari diantara jutaan jamaah. Tapi kami tetap memberanikan diri tanpa stroller dan membiarkan Ochy berbaur. Meski ada rasa takut membayangi, tapi saya kuat-kuatkan bahwa penjagaan Allah adalah yang terbaik. Saya tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Dan benar saja! Selama sholat berjamaah berlangsung, Ochy tetap di tempatnya mengikuti gerakan sholat hingga selesai.

Anak ini sebentar saja tidak diperhatikan, sudah jauh lari ke tempat lain. Paling gak bisa diam pokoknya.

Keesokan harinya, kami diagendakan ke Raudah. Sebuah tempat yang sangat mustajab untuk memohon kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadist bahkan diriwayatkan bahwa Raudah adalah taman-taman surga.

Raudah terletak di dalam Masjid Nabawi dan terbuka 24 jam untuk laki-laki tapi hanya di jam-jam tertentu untuk perempuan yaitu pukul 8 -11 pagi saja dan setelah isya. Raudah adalah tempat antara rumah Rasulullah SAW (makam Rasulullah) dengan  mimbar beliau yang ditandai dengan karpet hijau diantara karpet merah Masjid Nabawi. Kita dianjurkan memperbanyak istigfar dan sholawat ke atas Nabi sebelum memasuki Raudah. Oh iya, sebelum masuk ke masjid Nabawi tas kita akan diperiksa oleh petugas. Tidak diperbolehkan membawa kamera selain kamera HP saja. Nah karena di tas saya ada kamera mirrorless, saya mengeluarkannya terlebih dahulu dan oleh pembimbing jamaah yang menemani kami di sampirkan ke lehernya dengan posisi kamera di punggung. Jilbabnya yang besar membuat kamera tersembunyi. Meskipun kamera saya akhirnya lolos, tetapi saya tidak menggunakannya sama sekali selama di dalam masjid. Karena itu saya tidak mempunyai dokumentasi apa-apa tentang raudah karena juga tidak membawa HP saat itu.

Jika telah berada di karpet ini, berarti kita telah di Raudah. Sumber gambar : instagram.

Tidaklah mudah untuk memasuki Raudah. Butuh perjuangan, kesabaran dan keihklasan ekstra karena harus berdesak-desakan sebab jumlah jamaah yang tidak sebanding dengan luas Raudah itu sendiri. Jamaah akan dikelompokkan berdasarkan bahasanya. Indonesia mendapat antrian terakhir bersama dengan bangsa-bangsa lainnya yang berbahasa melayu. Saya sendiri harus antri hampir 2 jam sebelum akhirnya dipersilakan masuk oleh petugas.

Pengelompokan jamaah berdasarkan bahasanya. Petugas bercadar itu sangat fasih berbahasa melayu. Sumber gambar : instagram

Sebelumnya pembimbing jamaah dari travel berkali-kali memberitahu saya agar berhati-hati dan sebaiknya tidak perlu terlalu ke dalam karena perut saya yang sangat buncit. Jika telah menunaikan sholat sunnat 2 rakaat, saya dianjurkan untuk segera ke pintu keluar sebab dikhawatirkan akan tersenggol dengan jamaah lainnya yang bisa berakibat fatal pada kandungan saya yang sudah 7 bulan 1 minggu. Tapi Allah maha pemurah. Saya seperti diberi fasilitas khusus. Tangan saya tiba-tiba ditarik oleh seorang petugas bercadar, membawa saya ke dalam dengan penjagaan yang bebas hambatan jamaah. Diberi kesempatan sholat sunnat, sholat taubat, sholat hajat dan sholat dhuha di shaf paling depan, hanya beberapa meter dari makam Rasulullah. Meskipun tidak bisa melihat langsung makam Rasulullah karena ada tabir khusus diarea perempuan yang menghalanginya, namun rasanya tetap seperti begitu dekat dengan beliau. Air mata tak henti-hentinya mengucur.

Suasana di dalam Raudah yang padat jamaah. Di sebelah tabir putih itu adalah makam Rasulullah SAW. Sumber gambar : instagram

Suami tak kalah menarik kisahnya di Raudah bersama Ochy. Setelah antri bersama jamaah lainnya, tiba-tiba dia diusir keluar antrian oleh petugas karena membawa anak kecil. Sang petugas marah karena menurutnya Raudah tidak children friendly. Bagaimana jika anak terjepit jamaah? Bagaimana jika sesak oleh himpitan jamaah? Ke Raudah boleh saja tetapi jangan membawa anak kecil apalagi masih berumur 2 tahun begini! Ia bahkan disuruh kembali ke Indonesia saja karena membahayakan keselamatan anak. Tapi alasan sederhana yang dilontarkan suami justru membuat petugas terenyuh dan menggerakkan hatinya untuk memberi fasilitas khusus yang bebas antrian, sholat dengan nyaman tanpa desakan jamaah, berdiri begitu dekat dari makam Rasulullah SAW. Alasan sederhana yang diucapkan oleh suami adalah karena dia dan Ochy sangat mencintai Rasulullah makanya membawa serta anak ke Raudah.

Suami dan Ochy di Raudah. Karpet yang berwarna hijau abau-abu itulah yang menandai area Raudah sedangkan karpet merah di sebelahnya tidak termasuk area Raudah. Sumber foto : dokumentasi suami.
Makam Rasulullah SAW yang bisa dilihat dari Raudah area jamaah laki-laki. Dari area perempuan tidak bisa terlihat langsung karena ada tabir yang menghalanginya. Sumber foto : dokumentasi suami

Alhamdulillah ‘ala kulli hal.

Percayalah, pergi bersama anak itu membawa berkah. Kemudahan-kemudahan insyaAllah terbuka lebar.

4 comments

Leave a comment